Senin, 02 Desember 2013

SENGKETA TANAH : SUATU BENTUK PERTENTANGAN ATAS PEMBEBASAN TANAH RAKYAT UNTUK PEMBANGUNAN (Studi Kasus: Pembebasan Tanah Untuk Pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang)

 TUGAS PAPER

BAB 1. PENDAHULUAN

Kebutuhan transportasi suatu kota banyak ditentukan oleh besar kecilnya jumlah penghuni kota tersebut. Pertumbuhan penduduk yang pesat mengundang peningkatan sarana transportasi. Sementara itu pembangunan sarana dan prasarana transportasi akan mengundang atau menjadi daya tarik bagi tumbuhnya pemukiman. Jadi transportasi merupakan salah satu faktor kunci pemberi pelayanan/jasa dalam kebutuhan penduduk kota.
Keberadaan dan kesiapan fasilitas jasa pelayanan transportasi udara adalah merupakan salah satu faktor penting dan mendukung. Saat ini Bandar Udara Polonia Medan yan dikelola PT Angkasa Pura II di samping keberadaannya memberikan jasa pelayanan transportasi udara baik domestik maupun Internasional juga berperan sebagai pintu gerbang Indonesia Belahan Barat guna pertumbuhan kerjasama Segi Tiga Utara (IMTOT) yaitu antara Sumatera Utara-Aceh dengan Malaysia dan Thailand.
Untuk itu banyak pihak yang terpaksa harus mengalah demi keamanan Bandara Polonia, misalnya beberapa bangunan terpaksa harus dipangkas, seperti bangunan Istana Plaza yang terletak di Jalan Ir. Juanda Medan yang hanya berjarak 643,5 meter dari landasan Polonia. Polonia yang merupakan pintu gerbang bagi angkutan udara domestik dan luar negeri sudah sangat terbatas kemampuannya. Dengan areal yang begitu luas diharapkan mampu menampung 4 juta penumpang.
Sebagai tahapan awal dari pembangunan bandara, pada tahun 1997 yang lalu pembebasan tanah telah dilakukan, yang mencakup 8 desa yang terletak pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Beringin. Berdasarkan hasil survei awal yang telah dilakukan, dari dua lokasi kecamatan ini, perbedaan status tanah cukup berpengaruh kepada reaksi masyarakat atas pembebasan tanah tersebut.
Penelitian ini merupakan kajian mengenai sengketa tanah yang diawali oleh adanya pembebasan tanah. Tanah memiliki arti penting bagi masyarakat khususnya bagi petani, di mana keberadaan tanah tidak saja bermakna sebagai modal untuk berproduksi tetapi juga merupakan bagian dari sejarah kehidupannya. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah proses pembebasan tanah yang terjadi dalam proyek pembangunan Bandara Kuala Namu Deli Serdang, dan bagaimanakah reaksi yang muncul dari masyarakat yang terkena proyek pembebasan tanah, baik yang menerima maupun yang menolaknya.

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Karakteristik Negosiasi
Negosiasi adalah proses untuk memenuhi kebutuhan kita ketika orang lain mengendalikan apa yang kita inginkan. Oleh karena itu negosiasi memiliki karakteristik: a) melibatkan orang lain, b) memiliki ancaman terjadinya konflik, yang terjadi mulai dari awal sampai terjadi kesepakatan dalam akhir negosiasi, c) menggunakan cara pertkaran sesuatu, d) hampir selalu berbentuk tatap muka (bahasa lisan, gerak tubuh, maupun ekspresi wajah), e) negosiasi biasanya terjadi menyangkut hal-hal dimasa datang, f) hasil akhir dari negosiasi adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Proses utama yang harus dilalui sebelum berjalannya pembangunan bandara Kuala Namu adalah proses pembebasan tanah yaitu sebuah proses pengalihan kepemilikan tanah dari pemilik sebelumnya kepada PT. Angkasa Pura II. Pada umumnya masyarakat mengaku tidak menerima tekanan ataupun ancaman dari Tim Pembebasan, namun begitu terdapat juga beberapa orang yang mengaku disuruh untuk menerima saja bila tanahnya nanti dibebaskan dan menerima ganti rugi. Hal ini dapat terlihat dari hasil penyebaran kuesioner yang dilakukan, sebagian besar responden mengaku tidak menerima tekanan atau ancaman dari pihak Tim Pembebasan, dan selebihnya mengaku menerina tekanan.
Dengan telah terbentuknya Tim pembebasan tanah tersebut, untuk selanjutnya, tim ini mempunyai tugas untuk melaksanakan rapat koordinasi antar instansi terkait, melakukan penyuluhan kepada masyarakat/ pemilik tanah yang terkena proyek, melakukan pengukuran keliling areal proyek , melakukan pengukuran perincian kepemilikan tanah, mengadakan inventarisasi subjek dan objek serta bangunan dan tanaman yang tumbuh di atasnya tiap rincikan pemiliknya, melakukan musyawarah antar panitia dengan pemilik tanah tentang besarnya ganti rugi tanah, bangunan dan tanaman berdasarkan harga yang nyata/sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan menetapkan besarnya ganti rugi tanah, bangunan dan tanaman tiap persil/pemilikan tanah.
Tahapan awal yang dilakukan oleh Tim Pembebasan dalam rangkaian proses pembebasan tanah ini adalah Tahapan Sosialisasi. Pada tahap sosialisasi ini, bertujuan untuk menyampaikan informasi awal kepada masyarakat bahwa tanah mereka akan dibebaskan untuk kepentingan pembangunan Bandara Kwala Namu sabagai pengganti Bandara Polonia Medan.
Pembebasan tanah ini menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Secara keseluruhan, proyek ini membebaskan tanah masyarakat yang berlokasi di delapan desa, tetapi dari kedelapan desa tersebut, ternyata konflik sosial yang muncul tidak pada semua desa, secara khusus juga pembahasan mengenai konflik sosial ini akan memfokuskan pembahasan pada konflik sosial yang terjadi pada Desa Pasar VI Kuala Namu yang sampai saat ini masih berlangsung.
Sampai saat ini, permasalahan tanah yang masih terjadi dengan adanya pembebasan tanah adalah antara masyarakat di Desa Pasar VI Kuala Namu dengan PTPN II selaku pemilik Perkebunan. Hal ini disebabkan karena wilayah Desa Pasar VI Kebun Kelapa adalah merupakan termasuk wilayah kerja PTPN II sehingga luas desa yang mencapai 890 Ha merupakan tanah milik perkebunan.
Berdasarkan perhitungan yang telah ditetapkan tersebut, ternyata jumlah ganti rugi yang ditawarkan kepada masyarakat hanya 50% saja. Perhitungan yang hanya dihargai 50% tersebut berdasarkan kepada Surat Menkeu No.89/16/KMK/1991 yang menyatakan bahwa apabila suatu hari tanah dan bangunan milik perkebunan tersebut dialihkan atau dijual maka kepada penghuninya diberikan keringanan sebesar 50% untuk membelinya.
Konflik sosial yang terjadi pada masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu semakin berkembang ketika sebagian besar dari warga desa baik yang buruh aktif perkebunan, buruh harian lepas dan pensiunan perkebunan tidak mau menerima tawaran uang ganti rugi yang diajukan oleh pihak PTPN II. Menurut masyarakat, alasan mereka tidak mau menerimanya sederhana saja karena uang ganti rugi tersebut tidak bisa dibuat apa-apa dalam pengertian tidak bisa untuk membeli sepetak tanah untuk tempat tinggal, membangun rumah bahkan membeli sawah untuk bercocok tanam.
Sampai akhirnya pada tahun 2000, terjadi pengusiran warga oleh perkebunan melalui surat edaran resmi perkebunan yang dibagikan oleh petugas pengamanan (Papam) perkebunan kepada seluruh penduduk desa yang masih menempati rumah dan tanah perkebunan. Melihat     sulitnya     menyelesaikan
masalah ini dengan memberikan sejumlah uang ganti rugi maka pengajuan pemukiman kembali dan tanah pengganti menjadi pilihan yang lebih baik. Dengan adanya permohonan tersebut, saat ini sejumlah masyarakat yang masih menetap di Desa Pasar VI Kuala Namu hanya bisa menunggu kebijaksanaan yang akan diambil oleh pihak     perkebunan     untuk     menyelesaikan permasalahan konflik atas tanah ini.


2.2 Strategi Negosiasi
    Strategi negosiasi dalam masalah ini adalah win-lose  piihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
    Proses pembebasan tanah yang telah berlangsung tersebut terdiri dari beberapa proses utama yaitu: tahapan pembentukan tim pembebasan tanah (Tim 9) yang akan bertugas menangani pembebasan tanah mulai dari sosialisasi hingga pembayaran ganti rugi.
Tahapan sosialisasi merupakan tahapan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pembebasan tanah misalnya, luas tanah yang akan dibebaskan, lokasi yang terkena, besarnya nilai ganti rugi.
Tahapan pengukuran dan inventarisasi merupakan tahapan lanjutan di mana setelah seluruh     masyarakat     diberikan informasi mengenai pembebasan maka tim  akan mendata luas tanah, bangunan dan jumlah tanaman tanaman yang dimiliki masing-masing rumah sebagai bahan inventarisasi. Tahapan berikutnya adalah tahapan pembayaran ganti rugi.
Proses pembebasan tanah yang muncul di masyarakat berbeda satu sama lainnya, sebagian besar masyarakatnya relatif lebih menerima dan telah memperoleh ganti rugi atas tanah, bangunan dan tanam-tanaman. Namun demikian, penerimaan masyarakat tersebut disebabkan karena masyarakat yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah hampir 7 tahun berlangsung, namun hingga kini pembebasan tanah untuk bandara Kuala Namu masih meninggalkan konflik atas tanah. Dari kedelapan desa yang terkena pembebasan tanah tersebut, status kepemilikan tanah masyarakat berbeda satu sama lainnya. Perbedaan status kepemilikan tanah ini sudah barang tentu menimbulkan perbedaan pada saat pembayaran ganti rugi berlangsung. Desa Sidodadi Ramunia, Desa Beringin, Desa Sidourip, Desa Pasar V Kebun Kelapa, Desa Ramunia, Desa Pantai Labu Baru dan Pantai Labu Pekan merupakan desa-desa yang tanahnya berstatus milik sendiri sehingga pembayaran ganti rugi tidak menimbulkan konflik berkepanjangan tetapi hanya sebatas proses negosiasi untuk mendapatkan harga yang sesuai yang berlangsung hingga beberapa kali.
Konflik yang terjadi hingga saat ini adalah antara masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu dengan pihak perkebunan. Pada kasus ini konflik muncul diawali     dengan     tidak demokratisnya proses pembebasan di mana masyarakat tidak diikutsertakan dalam tahapan sosialisasi, pengukuran, inventarisasi hingga pembayaran ganti rugi.
Pada lain pihak, ganti rugi yang mereka terima hanyalah ganti rugi tanam- tanaman yang nilainya sangat kecil, sementara untuk uang ganti rugi atas tanah dan bangunan belum mereka terima hingga saat ini. Konflik atas tanah yang muncul, kembali lagi akibat proses pembebasan tan kurang demokratis dan keterbatasan akses masyarakat petani khususnya buruh perkebunan sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hak-hak mereka.


2.3 Kuadran dalam Negosiasi
    Berdasarkan kasus diatas, kedua belah pihak berada dalam kuadran negosiasi dua. Pada kuadran akomodasi ini, salah satu pihak mendapatkan hasil yang sedikit sedangkan pihak lawan mendapatkan hasil yang banyak atau meyeluruh sehingga pada kuadran akomodasi ini bisa di bilang menang dalam negosiasi atau bisa juga disebut dengan win-lose. Pada kasus ini pihak masyarakat sebagai pihak yang kalah karena hanya mendapat uang ganti rugi yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan PT Angkasa Pura II.

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembebasan tanah tersebut meliputi delapan desa yaitu: Desa Sidodadi Ramunia, Desa Beringin, Desa Pasar V Kebun Kelapa, Desa Pasar VI Kuala Namu, Desa Sidourip, Desa Ramunia Perkebunan, Desa Pantai Labu Baru dan Desa Pantai Labu Pekan. Proses pembebasan tanah yang telah berlangsung tersebut terdiri dari beberapa proses utama yaitu: tahapan pembentukan tim pembebasan tanah (Tim 9) yang akan bertugas menangani pembebasan tanah mulai dari sosialisasi hingga pembayaran ganti rugi.
Tahapan sosialisasi merupakan tahapan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pembebasan tanah misalnya, luas tanah yang akan dibebaskan, lokasi yang terkena, besarnya nilai ganti rugi.
Tahapan pengukuran dan inventarisasi merupakan tahapan lanjutan di mana setelah seluruh     masyarakat diberikan     informasi mengenai pembebasan maka tim akan mendata luas tanah, bangunan dan jumlah tanaman- tanaman yang dimiliki masing-masing rumah sebagai bahan inventarisasi. Tahapan berikutnya adalah tahapan pembayaran ganti rugi.
Proses pembebasan tanah yang muncul di masyarakat berbeda satu sama lainnya, sebagian besar masyarakatnya relatif lebih menerima dan telah memperoleh ganti rugi atas tanah, bangunan dan tanam-tanaman. Namun demikian, penerimaan masyarakat tersebut disebabkan karena masyarakat yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah hampir 7 tahun berlangsung, namun hingga kini pembebasan tanah untuk bandara Kuala Namu masih meninggalkan konflik atas tanah. Dari kedelapan desa yang terkena pembebasan tanah tersebut, status kepemilikan tanah masyarakat berbeda satu sama lainnya. Perbedaan status kepemilikan tanah ini sudah barang tentu menimbulkan perbedaan pada saat pembayaran ganti rugi berlangsung.
Konflik yang terjadi hingga saat ini adalah antara masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu dengan pihak perkebunan. Pada kasus ini, konflik     muncul diawali     dengan     tidak demokratisnya proses pembebasan di mana masyarakat tidak diikutsertakan dalam tahapan sosialisasi, pengukuran, inventarisasi hingga pembayaran ganti rugi.
Pada lain pihak, ganti rugi yang mereka terima hanyalah ganti rugi tanam- tanaman yang nilainya sangat kecil, sementara untuk uang ganti rugi atas tanah dan bangunan belum mereka terima hingga saat ini.
Konflik atas tanah yang muncul, kembali lagi akibat proses pembebasan tan kurang demokratis dan keterbatasan akses masyarakat petani khususnya buruh perkebunan sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hak-hak mereka atas tanah dan terlalu berkuasanya negara sehingga dengan kekuasaan yang ada.   

3.2 Saran
Banyaknya kasus-kasus sengketa tanah yang terjaadi baik antara pribadi maupun kelompok semakin menguatkan arti betapa tingginya nilai ekonomis dari tanah sebagai salah satu sumber daya alam dan faktor produksi. Di samping itu juga semakin menguatkan betapa potensialnya tanah sebagai pemicu munculnya konflik.
Kasus-kasus sengketa tanah yang muncul akibat kebutuhan pembangunan yang terus bergulir sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi kedepannya, sehingga pada bagian akhir tulisan ini, penulis memberikan saran-saran untuk
mengurangi maraknya konflik atas tanah, yaitu:
1.    Proses pembebasan tanah harus melewati seluruh tahapan-tahapan pembebasan dengan demokratis dan tidak manipulatif, dan pembebasan tanah tidak sebatas mengalihkan hak kepemilikan atas tanah semata, khususnya bagi proyek-proyek untuk kepentingan pemerintah, nasib para korban pembebasan tanah juga harus mendapatkan perhatian berupa kepastian tempat tinggal misalnya.
2.    Diperketatnya pengawasan terhadap pendataan masyarakat yang mengusahakan tanah (penggarap), pemilik HGU, dan pemukim liar sehingga apabila terjadi pembebasan tanah status pemberian ganti rugi sudah jelas dan tidak tumpang tindih.
3.    Perhatian serius dari instansi terkait seperti Badan Pertanahan Nasional  untuk memetakan mana tanah-tanah yang bermasalah atau tidak. Sementara itu proses pembebasan yang melibatkan perkebunan hendaknya penyelesaian pembayaran ganti rugi tidak menggunakan pihak ketiga walaupun dari pihak perkebunan sendiri, agar permasalahan tidak berlarut-larut.
4.    Dipermudahnya masyarakat dalam hal pengurusan surat (sertifikat) tanah sehingga bukti kepemilikan lebih kuat secara hukum, masyarakat tidak dibebankan dengan biaya- oleh negara.
5.    Secara khusus, sehubungan dengan akan dilaksanakannya pembangunan Bandara baru, penulis menyarankan agar penelitian mengenai dampak pembangunan Bandara Kwala Namu juga dilakukan oleh pihak- pihak yang merasa tertarik untuk menelitinya lebih lanjut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar